Ied dan Spiritualitas Mudik
Oleh:
Ichwan Adji Wibowo
Wakil Sekretaris PWNU Lampung
[caption id="attachment_5575" align="alignleft" width="199"]

Ichwan Adjie Wibowo[/caption]
SEJATINYA, krisis multidimensi manusia modern hari ini adalah bersumber dari "Krisis Spiritualitas". Manusia semakin kehilangan eksistensinya, secara tak tersadarkan semakin tidak mengenali dirinya, semakin gagap memahami untuk apa ia hidup dan hendak "kemana" dituju?, semakin kering makna, tak memiliki hasrat mengarungi alam
ukhrowi, semakin tak berselera melakukan penghayatan menemukan hikmah terdalam atas setiap peristiwa dan kejadian yang silih datang berkelindan.
Dus manusia modern semakin terjerembab pada sikap dan prilaku
hedonistic, semakin liberal, semakin kerontang dan dahaga kebagahiaan. Ukurannya serba
dhohir, serba kasat mata, serba duniawi.
Sikap dan disorientasi hidup inilah yang pada akhirnya terus menerus memunculkan kecemasan demi kecemasan dalam dirinya. Kecemasan ini merupakan manisfestasi ketidakhadiran Tuhan di dalam dirinya.
Ekspresi kecemasan inilah yang memberikan andil terbesar atas tercerabutnya nilai-nilai keberkahan hidup, yang tidak saja merugikan dirinya tetapi membawa malapetaka lebih luas bagi kehidupan dan kemanusian.
Sebagaimana informasi dari hadis berikut;
"Sesungguhnya Allah menguji hamba-Nya dengan rezeki yang Dia berikan. Barangsiapa ridho dengan apa yang Allah bagikan kepadanya maka Allah memberkahi dan melapangkannya. Barangsiapa yang tidak ridho maka Dia tidak memberkahinya.”
(HR. Ahmad)
Kita patut bersyukur ulama-ulama terdahulu, utamanya di wilayah nusantara ini telah melahirkan kekayaan khasanah keberagamaan yang diorientasikan untuk menjaga agar ruh, jiwa, spirit dan nilai-nilai esensi agama tidak tercerabut dan bisa dipastikan mengendap dalam sikap dan prilaku kebudayaan masyarakat kita.
Idul Fitri ala nusantara telah menawarkan berbagai tradisi yang sesungguhnya dihadirkan untuk membangun spiritualitas keberagamaan kita. Sebut saja Mudik, Ziarah, Halal bihalal, Kupatan dst.
Mudik misalnya, sudah menjadi kebudayaan nasional, yang secara simbolik sarat akan nilai-nilai spiritualitas. Mudik yang menjadi fenomena kekhasan islam nusantara dimensinya sangat luas dan begitu mendalam.
Kita kembali ke kampung untuk menjumpai ibu, menemukan kembali kampung dan masa lalunya, menelusuri leluhurnya. Peristiwa ini penting agar setiap kita di dorong untuk kembali menemukan kesejatian dirinya sendiri. Serangkaian proses dan upaya inilah manusia sedang melakukan perjalanan rohani yang paling interistik, sebuah upaya penyempurna dari cita cita melahirkan fitrahnya.
Di atas segalanya, sejatinya peristiwa dan laku mudik memberi pesan penting bahwa kita semua sesungguhnya tengah menjadi "perantau" di muka bumi, dan pada akhirnya kita akan kembali ke alam keabadian. Dan inilah "mudik" yang paling esensial, paling hakiki, dan paling sejati.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dengan sabdanya: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan"
Maka kita tidak bisa serta merta mencibir manusia Indonesia yang setiap tahun menjelang Idul Fitri begitu gegap gempita, penuh suka cita, penuh perjuangan, begitu heroik, meski susah payah, meski bayangan akan kepayahan di sepanjang jalan ada di alam kesadarannya. Mereka tetap gigih dengan kegembiraan, dan segenap kerinduan tetap berduyun-duyun melakukan "ritual nasional" yang diistilahkan dengan mudik tersebut. Karena mereka sesungguhnya sedang melakukan perjalanan "mudik kecil" sedang nelakukan penghayatan atas peristiwa mudik yang sesungguhnya, mudik yang sebenarnya.
Pada bagian lain, kita juga mengenal tradisi dan laku budaya lain seperti ziarah dan halal bihalal. Sekali lagi, serangkaian laku kebudayaan ini secara kolektif melahirkan kebudayaan nusantara, yang pada akhirnya melahirkan watak, prilaku, karakter dan peradaban bangsa
Seluruh laku kebudayaan tersebut sesungguhnya dihadirkan menjadi semacam "jembatan" antara alam kasat mata, dhohir dengan alam ukhrowi, bisa juga dianggap sebagai "wadah" semacam badan, ruang, atau tempat antara wujudiyah dengan alam ruhiyah, antara syareat dan hakekat...
Disinilah, upaya penghayatan peristiwa Idul Fitri di bumi nusantara menjadi penting dalam kerangka membangun spiritualitas yang semakin kehilangan ruang...
Semoga laku mudik, ziarah, dan halal bihalal yang kita lampaui dari tahun ke tahun semakin lebih berkualitas, semakin syahdu, semakin romantik, sekaligus penting untuk menghimpun energi baru, merevolusi menjadi manusua baru.
Wallohualam bishowab.(*)