MENIKAH merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tapi, bagaimana hukumnya bila menikah dilakukan karena sebuah keterpaksaan. Misalnya, ketika seorang laki-laki dipaksa menikah oleh masyarakat setelah tertangkap basah ‘berdua-duaan’ di dalam kamar dengan seorang janda yang bukan muhrimnya.
Dilansir nu.or.id dikatakan, fenomena ‘penggrebekan’ warga terhadap pasangan yang ketahuan melakukan tindakan mesum, memang sering terjadi. Biasanya alasan yang digunakan warga sudah merasa resah dan mereka berdua dianggap 'mengotori' lingkungan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip dasar dalam akad adalah ‘an taradlin atau adanya kerelaan di antara kedua belah pihak. Termasuk di dalamnya adalah akad nikah. Karena itu dalam pandangan madzhab Syafii, terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi calon suami. Salah satunya adalah adanya kemauan dari dirinya (mukhtar) dan tidak dipaksa.
Hal ini berarti pernikahan orang yang dipaksa adalah tidak sah. Tetapi jika pemaksaan tersebut didasari oleh alasan yang benar maka pernikahan tersebut dianggap sah. Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Ibrahim al-Baijuri:
وَشُرُوطُ الزَّوْجِ كَوْنُهُ حَلَالًا فَلَا يَصِحُّ نِكَاحُ مَحْرَمٍ وَلَوْ بِوَكِيلِهِ وَكَوْنُهُ مُخْتَارًا فَلَا يَصِحُّ نِكَاحُ مُكْرَهٍ بِغَيْرِ حَقٍّ بِخِلَافِ مَا لَوْ كَانَ مُكْرَهًا بِحَقٍّ وَلَوْ أُكْرِهَ عَلَى نِكَاحِ مَنْ طَلَّقَهَا طَلَاقًا بَائِنًا بِدُونِ الثَّلَاثِ وَهِيَ مَظْلُومَةٌ فِى الْقَسَمِ فَإِنَّهُ يَصِحُّ (إبراهيم البيجوري، حاشية الشيخ إبراهيم البيجوري، بيروت-دار الكتب العلمية، الطبعة الثانية، 1420هـ/1999م، ج، 2، ص. 188)
“Syarat-syarat seorang suami adalah harus halal, maka tidak sah pernikahan mahram (orang yang diharamkan untuk dinikahi) meskipun dengan wakilnya, harus dalam keadaan bisa memilih atau dengan kemauan sendiri (mukhtar) maka tidak sah pernikahan orang yang dipaksa dengan tanpa alasan yang benar (haq) berbeda jika dipaksa karena ada alasan yang benar.
Seperti jika ia dipaksa untuk menikahi kembali istrinya yang ia talak dengan talak bain yang bukan talak tiga (bain shugra) sedang si isteri tersebut dizalimi oleh dia dalam hal gilirannya, maka pemaksaan itu sah” (Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah asy-Syaikh Ibrahim al-Baijuri, Bairut-Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, 1420 H/1999 M, juz, 2, h. 188)
Jika kita mengikuti pandangan di atas maka tindakan yang dilakukan warga dengan memaksa dengan ancaman kekerasan kepada pihak lelaki untuk menikahi perempuan tersebut tidak bisa dibenarkan. Namun jika ternyata ada indikasi yang akan menikahi itu memiliki hak-hak memilih atau atas kemauan dan kerelaan maka pernikahan tersebut sah.
Memang apa yang dilakukan mereka berdua jelas tidak bisa diterima. Sebab, dalam pandangan Islam berduaan (laki-laki dan perempuan yang bukan mahromnya) adalah tidak dibenarkan.
Senada dengan hal di atas adalah apa yang telah diputuskan Nahdlatu Ulama sendiri pada Muktamar ke-10 di Surakarta tanggal 10 Muharram 1354 H/April 1935 M tentang tentang nikah yang dipaksa polisi karena berbuat zina. Status hukum kasus ini adalah tidak sah, apabila pemaksaannya memenuhi syarat, menurut ahli fiqh, atau diperintah hakim.
Argumentasi yang melatar-belakangi keputusan Muktamar tersebut adalah syarat sahya nikah harus dengan kemauan si calon suami. Salah satu rujukan yang diajukan untuk mendukung keputusan ini adalah keterangan yang terdapat dalam kitab Tanwir al-Qulub:
وَأَنْ يَكُونَ مُخْتَارًا فَلَا يَصِحُّ نِكَاحُ مُكْرَهٍ
“Dan si calon suami harus dalam keadaan bisa memilih. Maka tidak sah pernikahan orang yang dipaksa”. (Untuk lebih jelasnya lihat Ahkam al-Fuqaha` fi Muqarrati Mu’tamarati Nahdlatil ‘Ulama`, Indonesia-Lajnah Ta’lif Wan Nasyr-Khalista, 2011 M, h. 170). (Mahbub Ma’afi Ramdlan)