Warta

Misteri di Balik Terciptanya ‘Shalawat Badar’, Lagu Wajib NU

Ahad, 28 Agustus 2016 | 09:31 WIB

Shalaatullaah Salaamul laah Alaa Thaaha Rasuulillaah Shalaatullaah Salaamullah Alaa Yaa Siin Habiibillaah Demikian sepenggal isi dari ‘Shalawat Badar’. Lagu yang berisi puji-pujian kepada Rasullah SAW, dan ahli badar (para sahabat yang mati syahid dalam perang Badar) ini dikenal sebagai “lagu wajib” Nahdlatul Ulama (NU). Shalawat Badar digubah oleh Kiai Ali Mansur, salah seorang cucu dari K.H Muhammad Siddiq Jember tahun 1960. Kiai Ali Mansur saat itu menjabat Kepala Kantor Departemen Agama Banguwangi, sekaligus menjdi ketua PCNU di tempat yang sama. Proses terciptanya shalawat ini penuh dengan misteri dan teka teki. Konon, pada suatu malam, ia tak bisa tidur. Hatinya merasa gelisah karena terus menerus memikirkan situasi politik yang semakin tidak menguntungkan NU. Di sisi lain, orang-orang PKI semakin leluasa mendominasi kekuasaan dan berani membunuh kiai-kiai di pedesaan. Karena memang kiai lah pesaing utama PKI di tempat itu. Sambil merenung, Kiai Ali terus memainkan penanya di atas kertas, menulis syair-syair dalam bahasa Arab. Dia memang dikenal mahir membuat syair sejak masih belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri. Kegelisahan Kiai Ali berbaur dengan rasa heran. Karena malam sebelumnya dia bermimpi didatangi para habib berjubah putih hijau. Semakin mengherankan lagi, karena pada saat yang sama istrinya bermimpi bertemu Rasullah SAW. Keesokan harinya mimpi itu dityanyakan pada Habib Hadi al Haddar Banyuwangi. Habib Hadi menjawab:” Itu Ahli Badar, ya akhir!”. Kedua mimpi aneh dan terjadi secara bersamaan itulah yang mendorong dirinya menulis syair, yang kemudian dikenal dengan Shalawat Badar. Keheranan muncul lagi karena keesokan harinya banyak tetangga yang datang ke rumahnya sambil membawa beras, daging dan lain sebagainya, layaknya akan mendatangi orang yang akan punya hajat mantu. Mereka bercerita, bahwa pada pagi-pagi buta pintu rumah mereka didatangi oleh orang berjubah putih yang memberitahukan bahwa di rumah Kai Ali Mansur akan ada kegiatan besar. Mereka diminta membantu. Maka mereka pun membantu sesuai dengan kemampuannya. “Siapa orang berjubah putih itu?’. Pertanyaan itu terus mengiang dalam benak Kaiai Ali tanpa jawab. Namun malam itu banyak orang bekerja di dapur untuk menyambut kedatangan tamu, yang mereka sendiri tidak tahu siapa, dari mana dan untuk apa. Menjelang matahari terbit, serombongan habis berjubah putih-hijau pimpinan Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi dari Kwitang, Jakarta, datang ke rumah Kia Ali Mansur. “Alhamdulillah,” ucap Kiai Ali ketika melihat rombongan yang datang adalah para habib yang sangat dihormati keluarganya. Setelah berbincang basa-basi sebagai pengantar membahasa perkembangan PKI dan kondisi politik nasional yang semakin tidak menguntungkan, Habib Ali menanyakan topik lain yang tidak diduga oleh Kiai Ali: ”Ya akhi! Mana syair yang ente buat kemarin? Tolong ente bacakan dan lagukan di hadapan kami-kami ini!”. Tentu saja Kiai Ali terkejut. Sebab Habib Ali tahu apa yang dikerjakannya semalam. Namun ia memaklumi. Mungkin itulah karamah yang diberikan Allah kepadanya. Sebab dalam duani kewalian, pemandangan seperti itu bukanlah perkara yang aneh dan perlu dicurigai. Segera saja Kiai Ali mengambil kertas yang berisi Shalawat Badar hasil gubahannya semalam, lalu melagukannya di hadapan mereka. Secara kebetulan Kiai Ali juga memiliki suara yang bagus. Di tengah alunan suara Shalawat Badar itu para habib mendengarkannya dengan khusyuk. Tak lama kemudian mereka meneteskan airmara karenan haru. Selesai mendengarkan Shalawat BAdar yang dikumandangkan Kiai Ali Mansur Habib Ali segera bangkit. “YA Akhi! Mari kita perangi Genjer-Genjer PKI itu dengan Shalawat Badar!”, serunya dengan nada mantap. Setelah Habib Ali memimpin doa, lalu rombongan itu memohon diri. Sejak saat itu terkenallah Shalawat Badar sebagai bacaan warga NU untuk membangkitkan semangat melawan orang-orang PKI. Untuk lebih mempopulerkannya, Habib Ali mengundang para habib dan ulama (termasuk Kiai Ali Mansur dan K.H Ahmad Qusyairi, paman Kiai Ali Mansur) ke Jalan Kwitang, Jakarta. Di forum istimewa itu Shalawat Badar dikumandangkan secara luas oleh Kiai Ali Mansur. (Dari buku “Antologi NU, Sejarah Istilah Amaliah Uswah”. H. Soeleiman FAdeli, Muhammad Subhan, S.Sos)