Oleh: M.Iwan Satriawan
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, Intelektual Muda NU)
Pengertian pluralisme hukum sebagai suatu wacana konseptual teoritis, selalu mengalami perubahan sejak kemunculannya sampai hari ini. Perdebatan mengenai pengertian tersebut berkembang dengan sangat dinamis. Pendekatan pluralisme hukum yang paling akhir, muncul dalam keterlekatannya dengan fenomena globalisasi dan perdagangan bebas yang ditandai oleh transaksi kapital yang luar biasa. Kancah lalu lintas aktivitas ekonomi yang sangat dinamis itu, juga diiringi oleh terjadinya pertukaran dan perjanjian transnasional dalam bidang politik dan hukum. Pada saat ini hukum yang berasal dari tataran internasional, nasional, regional bahkan lokal “saling memasuki dan menembus” wilayah-wilayah yang tanpa batas.
Hukum dari berbagai tingkatan itu saling mengadopsi, bersentuhan dan berkaitan secara rumit. Akibatnya, hukum berubah sepanjang waktu, dan tidak lagi mudah untuk mengidentifikasikasi secara jelas yang mana hukum inter-nasional, mana yang hukum nasional atau hukum lokal sebagai suatu entitas yang jelas. Upaya identifikasi untuk membuat mapping of legal universe, seperti yang dilakukan oleh para ahli pada masa awal, sekarang sudah tidak mungkin dilakukan lagi. Contoh paling menonjol yang dapat dijelaskan oleh pendekatan pluralisme hukum adalah bidang hak asasi manusia khususnya yang menyangkut hak asasi perempuan dalam masalah pluralism hukum waris di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, hingga saat ini ada 3 (tiga) model penerapan hukum waris di Indonesia. Yaitu hukum waris adat, Islam dan nasional yang tentunya dari masing-masing hukum waris tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing tergantung dari sudut pandang pemakainya khususnya jika dihubungkan dengan kesetaraan gender.
Hak-hak perempuan (ide kesetaraan gender) merupakan salah satu dari isu yang penting dalam wacana hak asasi manusia. Dalam pandangan dari beberapa aktivis hak-hak perempuan, khususnya apa yang disebut sebagai feminism Islam dicirikan oleh kesadaran terhadap penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat, baik ditempat kerja maupun di lingkungan keluarga. Wacana ini juga tumbuh dari kesadaran untuk mengubah situasi dengan menggunakan teks suci sebagai landasan .
Sedangkan budaya patriarki yang masih kental di sebagain besar masyarakat Indonesia menyebabkan kaum perempuan dalam segala bidang berada pada posisi yang sub ordinad. Hal ini juga salah satunya disebabkan karena mentalitas dari kaum perempuan sendiri yang sudah menganggap dirinya lemah dihadapan kaum lelaki. Lemah baik secara fisik maupun secara non fisik.Kaum perempuan telah menganggap bahwa kaum lelaki lebih layak mendapatkan sesuatu yang lebih daripada dirinya dalam segala bidang kehidupan sehingga memunculkan istilah dalam terminologi jawa disebutkan “suargo nunut neroko katut” bagi kaum perempuan khususnya istri terhadap suaminya.
Sebagai manusia yang juga memiliki hak-hak kodrati, melekat juga pada kaum perempuan sebuah hak yang bernama Hak Azasi Manusia (selanjutnya ditulis HAM), tanpanya manusia akan sulit hidup sebagaimana manusia pada umumnya. HAM ada bukan karena pemberian masyarakat atau karena kebaikan negara, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia.Karena HAM (Hak Asasi Manusia) adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Sehingga Tahir Azhari sebagaimana dikutip oleh Achmad Nur Fuaddan kawan-kawan menyebutkan bahwa hak asasi manusia menekankan pada 3(tiga) hal utama yaitu: a) persamaan manusia;b) martabat manusia;c) kebebasan manusia.
Memasuki abad 21 wacana tentang kesetaraan gender mulai mengemuka. Tidak hanya dalam bidang pendidikan namun juga telah merambah dalam bidang ekonomi,politik dan hukum.Pertama,dalam konteks pembelaaan hak-hak kaum perempuan di depan hukum, maka kita mengenal apa yang disebut sebagai “feminist jurisprudence”yaitu sebuah sistem peradilan yang membela hak-hak kaum perempuan.Atau dapat juga dikatakan sebagai suatu filsafat hukum berdasar pada segi politik ,ekonomi, dan persamaan jenis kelamin.
Kedua,dalam bidang politik sejak diberlakukannya minimal 30% calon legislatif diisi kaum perempuan telah menjadi wacana baru tentang pentingnya menghargai hak-hak perempuan. Meskipun hal ini lagi-lagi hanya bersifat sumir karena kewajiban mencantumkan 30% calon legislatif perempuan hanya pada saat pendaftaran calon, bukan pada saat keterwakilan secara penuh di lembaga legislatif.
Ketiga, dalam bidang sosial, dengan makin maraknya pelecehan seksual pada wanita menyebabkan munculnya pemikiran perlu memberikan fasilitas khusus perempuan pada sarana publik misalnya pada sarana transportasi umum yang dikhususkan perempuan. Mulai dari gerbong khusus perempuan seperti yang sudah dilakukan di India, hingga ruangan khusus ibu menyusui yang sudah terdapat di beberapa kantor-kantor baik instansi pemerintah maupun swasta.
Namun dari kemajuan dalam ketiga bidang tersebut belum menyentuh pada satu aspek yang paling penting yaitu budaya. Budaya patriarki yang turut tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sangat sulit untuk dilakukan perubahan. Ada pertentangan antara ego lelaki dan kenyataan yang harus dihadapi. Senyampang laki-laki lebih mementingkan ego mereka maka perjuangan untuk memupus ideologi patriarki sesuai dengan penegakkan HAM hanya akan menjadi sebuah ilusi saja.