Warta

Hukum Memakan Kepiting

Selasa, 3 Februari 2015 | 07:39 WIB

kepiting Allah SWT menyuruh kita umatnya untuk menikmati apa yang ada dibumi dan yang baik-baik. Apa yang ada di darat maupun di laut. Lantas bagaimana Islam memandang bila kita memakan kepiting? Sebagaimana disebutkan diatas, memakan makanan halal dan baik adalah perintah Allah swt kepada semua manusia, bukan hanya ditujukan kepada umat Islam semata. Hal ini menunjukkan pentingnya umat manusia agar lebih selektif dalam memilah dan memilih serta menentukan makanan yang akan menjadikan peredaran darah dalam tubuhnya berjalan normal. Perintah Allah ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 172, Makanan halal dan baik disini tentunya meliputi cara memperoleh dan mendapatkannya disamping juga yang tidak kalah penting adalah materi (jenis) dari makanan itu sendiri. Terdapat beberapa perbedaan ulama dalam masalah hukum memakan kepiting. Ada yang berpendapat bahwa memakan kepiting hukumnya haram sementara yang lain menyatakan halal. Perbedaan seperti ini sangat wajar dan sering terjadi di kalangan para ulama dalam menyikapi suatu masalah mengingat cara menganalisa dan pengambilan kesimpulan yang tidak sama. Pertama, kelompok ulama yang menyatakan bahwa kepiting tidak boleh dimakan (haram) berasumsi bahwa hewan ini bisa hidup di dua alam (laut dan darat), sedangkan setiap binatang yang hidup didua alam hukumnya haram. Kedua, kelompok ulama yang berpendapat bahwa kepiting halal untuk dikonsumsi berhujjah bahwa hewan ini tidak dapat hidup di darat. Ia hanya bisa hidup di air (laut) saja, sedangkan dalam fiqh dikatakan bahwa semua binatang laut hukumnya halal dimakan. Selain itu ada qaul dhaif yang bersumber dari al-Halimi sebagaimana diceritakan oleh al-Baghawi yang berpendapat bahwa hewan ini tetap dihukumi halal, meskipun bisa hidup di dua alam. Dari Masing-masing pendapat tentunya memiliki alasan yang dipertanggungjawabkan Dalam kitab al-Maj’mu’ Syarah al-Muhaddzab disebutkan: وَعَدَّ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَإِمَامُ الْحَرَمَيْنِ مِنْ هَذَا الضَّرْبِ الضِّفْدَعَ وَالسَّرَطَانَ وَهُمَا مُحَرَّمَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّحِيحِ الْمَنْصُوصِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ وَفِيهِمَا قول ضعيف انهما حَلَالٌ وَحَكَاهُ الْبَغَوِيّ فِي السَّرَطَانِ عَنْ الْحَلِيمِيِّ. Artinya: Dari bagian ini (hewan yang dapat hidup di dua tempat), asy-Syekh Abu Hamid dan imam al-Haramain memasukkan katak dan ketam (jenis kepiting). Dua hewan tersebut diharamkan menurut ketetapan madzhab yang shahih (benar). Mayoritas ulama juga mengacu pada pendapat ini. Ada pendapat dhaif yang diceritakan oleh al-Baghawi bersumber dari al-Halimi yang mengatakan bahwa kedua hewan ini halal. Perbedaan pendapat diatas bukanlah hal yang baru, namun perbedaan tersebut dapat menjadikan umat maupun masyarakat Islam semakin dewasa dalam menghargai keanekaragaman yang ada, sehingga misi agama islam yaitu rahmatan lil `alamin akan terwujud. Wallahua`lam. (sunarto/nu.or.id)


Terkait